“RASA”
Rasa ini
selalu mengusikku. Aku tak tahu apa namanya rasa ini. Tiba-tiba saja rasa ini
ada dan menghujam hatiku.
Setiap kali aku melihatnya, ada rasa aneh yang dalam
hatiku. Kadang jantungku berdetak amat kencang di depannya, kadang biasa saja,
dan kadang rasa benci yang teramat sangat yang aku rasakan padanya.
![](file:///C:%5CUsers%5CUser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image002.gif)
pagi itu, hari minggu pukul
10.00 pertama kali aku bertemu dengannya, saat sahabatku Iin mengajakku untuk
menemui teman saat SMPnya dulu. Awalnya aku menolak habis-habisan ajakan Iin
tersebut, namun karena rengekan Iin yang membuatku tidak tega, akhirnya dengan
berat hati aku menemaninya bertemu dengan teman SMPnya itu.
Kami sampai di sebuah cafe tempat janjian Iin pukul
09.50, lalu kami pun mencari teman Iin tersebut, dan di situlah dia, duduk di
meja sebelah pojok yang menjauh dari keramaian, dan saat itulah tepat pukul
10.00 pertama kali aku bertemu dengannya.
Aku duduk berhadapan dengannya, sedang Iin duduk
berhadapan dengan teman SMPnya dulu. Iin dengan PDnya ngobrol dengan teman
SMPnya itu yang bernama Faris. Sedang aku hanya diam. Satu hal yang aku bingung
dengan cowok yang sedang duduk di hadapanku saat itu, yaitu kenapa dia terus
saja menunduk? Dan kadang-kadang melirik ke arahku dengan tersenyum malu. Aku pun
risih dengan tingkah lakunya yang aneh itu. Dan perkataan Iin yang tiba-tiba
membuyarkan lamunanku.
“namanya Luki.” Ujar Iin dengan senyum menggoda.
“apa?” tanyaku bingung, karna aku nggak merasa ingin tau
siapa namanya.
“mbak, kayaknya temen saya ini suka sama mbak.” Ujar
Faris
“hah?” aku kaget. Kemudian ku tatap Luki, tapi ia malah
senyum-senyum nggak jelas.
“ah! Loe ris! Apa-apaan sich!” ujar Luki sambil
tersenyum.
Aku yang saat itu nggak ngerti
apa-apa, malah kayak orang bodoh di sana. Karena merasa jengkel akhirnya aku
memutuskan untuk pulang duluan.
Pagi
itu seperti biasanya, aku siap-siap berangkat ke sekolah. Tiba-tiba HP-ku
berbunyi, aku pun melihat layar HP-ku itu, ada nomor yang tak dikenal di sana.
Aku pun membuka SMS dari seseorang yang tak aku kenal itu.
§ Pagi
Luna………… ^-^
Itulah isinya, awalnya
aku nggak niat untuk membalasnya, namun karena aku penasaran dengan orang yang
tidak aku kenal tersebut, akhirnya aku membalasnya.
§ jGa,
nie spa?......... (aku)
§ Aqu
Luki, masih inget gak? (Luki)
§ Luki
spa?.......... (aku)
§ Luki
temennya Faris. Masak dah lupa? (Luki)
§ Ouw………dapa
Luk? (aku)
§ Gak
ada apa2, Cuma mau ngucapin met pagi aja. (Luki)
§ Ouw………ya
dah, MZannya d.lnjutn nnti ja yach, CZ, au nya mw skul. (aku)
§ Oh
ya udah. Met skul Luna, yang rajin ya belajarnya, n’ hati2 dijalan (Luki)
Akupun
menyudai SMSan yang nggak jelas itu, kemudian berangkat ke sekolah.
Sejak saat itu, Luki mulai rajin SMS aku, walaupun
terkadang nggak aku balas SMSnya, namun ia masih saja begitu rajin SMS dan
telpon aku.
Lama kelamaan akupun mulai nyaman berteman dengan Luki.
Kami sering jalan bareng dan tak jarang Luki memintaku untuk membantunya
mengerjakan tugas B.inggris-nya. Lalu pada suatu hari, Luki mengajakku keluar
jalan-jalan, aku sebagai teman akrabnya pun mengiyakan ajakannya.
Kami jalan-jalan di taman kota. Membeli ice-cream
kesukaanku, bermain ayunan dan bercanda. Aku sedang duduk di kursi taman ketike
tiba-tiba Luki duduk bersimpuh di depanku. Dia kelihatan tegang.
“ada apa?” tanyaku pada Luki. Luki menarik nafas panjang,
kemudian bicara.
“AKU MENYUKAI KAMU, LUNA.” Ujar Luki mantap. Jujur aku
nggak pernah melihat cowok yang menyatakan cinta semantap dia.
Aku melongo kaget dengan ucapannya.
“Aku tau aku lancang, tapi aku nggak bisa menyimpan
perasaan ini terlalu lama. Aku sudah suka sama kamu sejak dulu. Sejak pertama
kali aku bertemu dengan kamu. Luna, aku bukan cowok yang pandai merangkai
kata-kata manis buat cewek yang aku suka. Namun aku bisa menjaga cewek yang aku
suka agar selalu tersenyum. Luna, kamu mau nggak jadi pacar aku?” ujar Luki
panjang lebar.
Aku malah masih melongo dan nggak bisa berkata apa-apa. Bagaimana
tidak, cowok yang slama ini aku anggap sebagai teman menyukai ku.
“Luki, sejak kapan kamu…………” aku nggak bisa ngelanjutin
kata-kataku karna aku terlalu kaget dengan pengakuan Luki tersebut.
“kamu memang nggak pernah merhatiin aku, apa kamu nggak
sadar? Slama ini aku udah berusaha nunjukin rasa itu sama kamu, tapi kamu malah
cuek gitu aja. Gimana Lun? Kamu mau nggak jadi cewek aku?” terangnya.
Aku malah makin bingung dengan jawabanku sendiri. Aku
berfikir, jika aku menolaknya, maka ia pasti akan sangat kecewa dan akan
menjauhiku, mungkin lebih baik aku menerimanya, toh nggak ada ruginya aku
pacaran sama dia, dia populer di sekolahannya dan menjadi incaran banyak cewek
seusiaku.
“ya udah dech Luk, aku mau.” Ujarku dengan rasa sedikit
tidak enak.
Luki tersenyum, kemudian berdiri di hadapanku, aku kira
dia akan memelukku, kalau dia sampai melakukannya aku sudah menyiapkan
ancang-ancang untuk kabur, namun dia malah membalikkan badan kemudian berkata,
“ayo kita pulang”
Nggak
terasa udah 8 bulan aku pacaran sama Luki, dan selama 8 bulan itu Luki selalu
perhatian padaku, dia selalu menjemputku setiap pulang sekolah dan selalu siap
jika aku meminta dia mengantar aku ke toko buku untuk membeli buku.
Namun
ada yang salah dengan hatiku ini, mengapa sampai saat ini aku masih belum
menyukainya, padahal dia cowokku, aku sama sekali tak mempunyai rasa sama Luki,
aku malah menyukai cowok lain yang bernama Ilham, teman sekelasku.
Aku
mulai merasa bersalah pada Luki karena telah mempermainkannya, aku pun
berencana putus dengannya tanpa memberitahukannya alasan sebenarnya, tapi
takdir mempunyai rencana lain.
Malam
itu malam minggu. Seperti biasa Luki apel kerumahku. Kami duduk di teras depan
rumahku. Saat itulah aku bermaksud memutuskan hubunganku dengannya. namun karna
melihat wajah Luki yang muram, akhirnya aku tak jadi menjalankan rencanaku.
“ada
apa?” tanyaku padanya.
Luki
diam, kemudian menghela nafas, dan mendongak menatap langit yang hitam kelam.
Lalu dia beralih menatapku.
“Luna………
kamu cinta nggak ma aku?” tanyanya. Pertanyaan itu membuat tenggorokkanku
tercekat, aku nggak bisa ngomong apa-apa. Aku nggak mau bohongin dia dan hatiku
lagi, sudah cukup sampai di sini saja aku nyakitin dia.
“udah
aku duga.” Ujarnya tiba-tiba. Matanya berkaca-kaca.
“kamu
emang nggak pernah cinta ama aku (diam). Aku nggak bodoh Lun (diam). Aku tau
kamu terpaksa nrima aku.” Ujarnya. Akupun mulai terdiam, berusaha untuk
memahaminya.
“selama
ini aku slalu berusaha sabar untuk menanti rasa yang aku inginkan dari kamu.
Aku mencoba untuk sabar. Tapi kini, akhirnya aku sadar, penantianku slama ini
tu sia-sia. Karna kamu nggak mungkin ngasih rasa itu buat aku.”
Dia
menggenggam tanganku, dan itulah pertama kalinya dia berani menggenggam
tanganku.
“aku
sudah buat keputusan Lun. Aku bakal ngerelain kamu, aku nggak bisa nunggu rasa
yang nggak mungkin kamu kasih ke aku, aku sadar, aku sama sekali nggak berharga
bagi kamu (diam). Kamu percaya nggak kalau aku bilang kamu adalah cinta pertama
aku? Aku gombalnya. Tapi, kamu memang cinta pertama aku. Kamu tau nggak Lun?
Kamulah satu-satunya cewek yang bisa bikin aku nangis, kamulah satu-satunya
cewek yang bisa bikin hati aku sakit banget. Tapi nggak apa-apa Lun, kamu nggak
salah, aku yang salah. Untuk terakhir kalinya, aku suka sama kamu, aku sangat
menyukai kamu.” Ujarnya panjang lebar.
“kita
putus.” Akhirnya kata itu keluar juga dari mulutnya, walaupun aku tau dia
sangat berat mngucapkannya, namun dia masih saja mengucapkannya. Dan akhirnya
dia pun pergi.
Entah mengapa air mataku mengalir
saat menatapnya pergi, ada apa dengan hatiku? Kenapa hati aku jadi sakit
seperti ini saat melihatnya pergi?
Ternyata rasa ini telah mengecohku, dia datang begitu Luki pergi.
Aku tak bisa mengatakan apa namanya rasa ini, tapi setelah aku pahami lagi,
ternyata rasa inilah yang di inginkan Luki slama ini. Aku terlalu jaim untuk
mengakuinya.
Sekarang aku menyukai Luki, namun Luki sudah terlanjur pergi.